Seminar Nasional
Pelaksanaan : 2020-06-13 s/d 2020-06-13
Rokok dan merokok adalah fanomena yang selalu memunculkan pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bukti yang sangat kuat tentang risiko merokok dan paparan asap rokok dengan berbagai masalah kesehatan baik penyakit tidak menular (kanker, jantung, stroke, penyakit paru, gangguan kehamilan, dll) maupun penyakit manular seperti TB paru. Bahkan baru-baru ini merokok pun dikaitkan dengan risiko penularan dan keparahan COVID-19. Sebuah artikel di yang ditulis oleh peneliti dari Bellvitge Biomedical Research Institute-Catalan Institute of Oncology, Spain yang diterbitkan oleh jakartaglobe.id tanggal 29 April 2020 menyebutkan bahwa kasus Covid-19 yang parah pada saat masuk rumah sakit lebih menonjol di antara pasien dengan riwayat merokok dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok (32 persen banding 15 persen). Pada saat perawatan pasien Covid-19, 16 persen perokok lebih cenderung dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) dan membutuhkan ventilasi mekanis, dibandingkan dengan 4,7 orang yang tidak pernah merokok. World Health Organisation (WHO) dan European Center of Disease Control (ECDC) juga mengidentifikasi bahwa perokok memiliki kemungkinan lebih besar terinfeksi virus. Pada saat outbreak MERS tahun 2012, data menunjukkan pasien perokok lebih banyak yang meninggal dibandingkan non perokok. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa pada populasi Indonesia usia 15 tahun, prevalensi perokok sebesar 33,8 % (62,9 % laki-laki dan 4,8% perempuan). Yang memprihatinkan, prevalensi perokok anak (10-18 tahun) meningkat dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 8,8% pada tahun 2016 dan 9,1% pada tahun 2018. Angka ini dua kali lipat dari target penurunan perokok kelompok tersebut, yaitu 5,4% (Riskesdas 2018). Mengapa anak-anak merokok? Selain merokok menjadi kebiasaan di masyarakat, Global Youth Tobacco Survey menunjukkan setengah dari siswa yang berpartisipasi dalam survei tersebut melihat iklan atau promosi rokok di tempat penjualan, sebanyak 58.2% melihat seseorang merokok di televisi, video dan film, bahkan 62,7% melihat seseorang merokok di televisi, video, atau film. (WHO-SEARO, 2015). Mapping iklan rokok di Kota Semarang yang dilakukan oleh tim peneliti Udinus pada tahun 2018 terhadap 3453 iklan luar griya menunjukkan bahwa 74% iklan tersebut berada pada jarak <300 meter dari sekolah, dan 39% dari 978 sekolah (SD, SMP, SMA) yang ada di Kota Semarang berada pada hotspot iklan rokok. Hotspot adalah wilayah yang kepadatan iklan rokoknya signifikan lebih padat dibanding wilayah lain. Sedangkan penelitian lanjutan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa kepadatan iklan rokok di sekitar sekolah berhubungan erat dengan perilaku merokok siswa SMP & SMA di Kota Semarang. Kota Semarang yang berupaya keras menjadi “Kota Sehat” dan telah banyak mendapatkan penghargaan sebagai “Kota Layak Anak” diharapkan dapat melakukan upaya yang lebih komprehensif untuk pengendalian perilaku merokok dan pengendalian iklan rokok.
Rokok dan merokok adalah fanomena yang selalu memunculkan pro dan kontra di masyarakat Indonesia. Berbagai penelitian menunjukkan bukti yang sangat kuat tentang risiko merokok dan paparan asap rokok dengan berbagai masalah kesehatan baik penyakit tidak menular (kanker, jantung, stroke, penyakit paru, gangguan kehamilan, dll) maupun penyakit manular seperti TB paru. Bahkan baru-baru ini merokok pun dikaitkan dengan risiko penularan dan keparahan COVID-19. Sebuah artikel di yang ditulis oleh peneliti dari Bellvitge Biomedical Research Institute-Catalan Institute of Oncology, Spain yang diterbitkan oleh jakartaglobe.id tanggal 29 April 2020 menyebutkan bahwa kasus Covid-19 yang parah pada saat masuk rumah sakit lebih menonjol di antara pasien dengan riwayat merokok dibandingkan dengan yang tidak pernah merokok (32 persen banding 15 persen). Pada saat perawatan pasien Covid-19, 16 persen perokok lebih cenderung dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) dan membutuhkan ventilasi mekanis, dibandingkan dengan 4,7 orang yang tidak pernah merokok. World Health Organisation (WHO) dan European Center of Disease Control (ECDC) juga mengidentifikasi bahwa perokok memiliki kemungkinan lebih besar terinfeksi virus. Pada saat outbreak MERS tahun 2012, data menunjukkan pasien perokok lebih banyak yang meninggal dibandingkan non perokok. Data Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa pada populasi Indonesia usia 15 tahun, prevalensi perokok sebesar 33,8 % (62,9 % laki-laki dan 4,8% perempuan). Yang memprihatinkan, prevalensi perokok anak (10-18 tahun) meningkat dari 7,2% pada tahun 2013 menjadi 8,8% pada tahun 2016 dan 9,1% pada tahun 2018. Angka ini dua kali lipat dari target penurunan perokok kelompok tersebut, yaitu 5,4% (Riskesdas 2018). Mengapa anak-anak merokok? Selain merokok menjadi kebiasaan di masyarakat, Global Youth Tobacco Survey menunjukkan setengah dari siswa yang berpartisipasi dalam survei tersebut melihat iklan atau promosi rokok di tempat penjualan, sebanyak 58.2% melihat seseorang merokok di televisi, video dan film, bahkan 62,7% melihat seseorang merokok di televisi, video, atau film. (WHO-SEARO, 2015). Mapping iklan rokok di Kota Semarang yang dilakukan oleh tim peneliti Udinus pada tahun 2018 terhadap 3453 iklan luar griya menunjukkan bahwa 74% iklan tersebut berada pada jarak <300 meter dari sekolah, dan 39% dari 978 sekolah (SD, SMP, SMA) yang ada di Kota Semarang berada pada hotspot iklan rokok. Hotspot adalah wilayah yang kepadatan iklan rokoknya signifikan lebih padat dibanding wilayah lain. Sedangkan penelitian lanjutan pada tahun 2019 menunjukkan bahwa kepadatan iklan rokok di sekitar sekolah berhubungan erat dengan perilaku merokok siswa SMP & SMA di Kota Semarang. Kota Semarang yang berupaya keras menjadi “Kota Sehat” dan telah banyak mendapatkan penghargaan sebagai “Kota Layak Anak” diharapkan dapat melakukan upaya yang lebih komprehensif untuk pengendalian perilaku merokok dan pengendalian iklan rokok.